Cerpen Cinta
Hay, jumpa lagi di blog saya Munandar Setiyanto..
Kali ini saya akan menyebarkan cerpen mengenai Kisah Cinta Dua Sahabat..
Langsung saja cek in dot.
Cerpen Kisah Cinta Dua Sahabat
Cinta Dua Insan Sahabat
Benda bundar ini terus tertuju pada hamparan biru langit kolam air samudera yang ditaburi benda-benda putih mirip kapas dan bergelombang mirip kubis yang terus tersenyum menyapaku ramah. Panas matahari begitu terik mengejeku dengan sengatannya yang memperabukan bumi menghapus kegelapan, mirip semangatku ‘tuk menuntut ilmu guna menghapus dan menendang jauh-jauh kebodohan menuju masa depanku yang cerah dan tinggi tergantung di angkasa. Angin semilir melantunkan sebuah nada yang serasi menyapu dan menyejukan jiwa, sebagaimana rumput yang bergoyang menyapaku riang. Sejenak ku terdiam, menikmati kenyamanan dan keindahan alam yang fana ini. Ku teringat sebuah lagu yang menggali memori terdalamku perihal sobat dekat ku yang berharga kolam intan berlian di masa silam.
Etik, seseorang yang menemani hari-hariku yang selalu terekam dalam saraf-saraf di tubuhku. Dialah calon seorang ibu di masa depan yang menaburkan keharuman dan senyuman hangat bagai bidadari penjaga taman nirwana yang ramah. Setiap detik ku didekatnya, kurasakan pemompa darah yang terletak di dalam rongga dada belakang sternum, diatas diafragma dengan posisi yang sedikit lunglai ke kiri, tepatnya di dalam rongga mediastinum dari thorax, diantara paru-paru, seakan terjatuh dari kaitnya alasannya ialah terlalu semangat memompa darah yang mendesir di lorong nadi ku.
Suara lembutnya membelai telingaku dengan ramah merobek keheningan pagi yang hambar dengan embun-embun yang terguling dari dahan pohon yang rimbun yang mendinginkan alam ini. Senyumannya yang tak kalah bersaing dengan mentari yang terbangun dari tidurnya menghangatkanku di pagi itu. Aku menemaninya meniti jalan yang bergelombang menuju ruangan berbentuk balok daerah untuk menuntuk ilmu. Ku duduk disampingnya menatap orang kemudian lalang masuk ruangan mengusik hati kecil kami berdua.
Suara dering menerangkan gerbang cerah telah dibuka. Seorang yang berwibawa masuk membawa setumpuk lembaran-lembaran ilmu. Ku dengarkan setiap untai kata yang dilontarkannya, dimana setiap katanya sanggup me-refresh lobus frontal di ujung cerebrum ku. Sambil ku lirik bidadari yang menaburkan anyir mawar terpaku di pertemuan dua dinding cuilan belakang. Ku berharap dengan tulang duduk yang terekat di bangku dengan hening di dalam ruangan balok berisi ilmu ini, syaraf-syaraf di kepalaku sanggup menyerap ilmu yang ada di dalam ruangan itu biar sanggup terbang tinggi menggapai cita-cita.
Dering berbunyi, gerbang ilmu telah ditutup. Entah berapa juta ilmu telah terserap dalam cerebrum cortex selama delapan jam ini. Aku beranjak meninggalkan daerah itu bersama bidadariku dan pengiring-pengiringnya. Kami berkumpul di bawah pohon yang mirip gedung pencakar langit untuk berimaginasi perihal liburan nanti. Kami setuju untuk menghabiskan liburan semester di Watu Geyong.
Tahun fatwa telah selesai, kami mewujudkan imajinasi kami untuk beranjak menaiki Watu Geyong. Di Watu Geyong, terlihat pesona alam yang menakjubkan. Di atas ketinggian 300 meter, raga yang ringan mirip kapas ini rasanya melayang menyentuh awan nimbo stratus yang berlapis-lapis. Hamparan hijau disambut dengan suara-suara teriakan binatang yang saling bersahutan dan angin semilir di sekitar lereng curam menciptakan kami nyaman serasa tidur lelap di bawah alam sadar kami dalam pelukan hangat mentari. Suasana inilah yang membuatku semakin dekat dengan Etik. Aku mencicipi bibit-bibit cinta semi di lubuk hati kita.
Hati kecilku bertanya-tanya, mengapa Etik belum menerima pujaan hatinya? Padahal kalau dicerna lebih oleh cerebrum, Etik gak susah menerima jantung hatinya. Etik ialah jenis insan yang gak simpel memangku cinta alasannya ialah gak sembarangan dalam menilai lawan jenisnya. Itulah yang membuatku merinding, alasannya ialah saya takut rasa deg-degan ini menjadi permainan waktu semata. Waktu yang tak berujung menciptakan rasa ini terombang-ambing dan terobek-robek oleh cinta. Aku terus memendam perasaan ini dan saya dikecam serta dilanda perasaan cemburu. Apakah cemburu bukti ada cinta dihati ini? Aku benar-benar gelisah dan ketir-ketir dibuatnya. Seiring berjalannya waktu, saya merasa batin dan jiwa ini terus tersiksa. Hingga milyaran neuron di kepalaku bergabung menghasilkan gagasan wangsit yang cemerlang untuk mengutarakan keinginanku. Tentang perasaanku yang gak karuan perihal Etik. Cuma belum ada tekad bundar dan keberanian, alasannya ialah saya takut nantinya ia mengacuhkan dan mengubur memori perihal diriku dalam masa lalunya yang kelam.
Ku mencoba untuk menghapus ingatanku perihal dirinya, tapi tak segampang yang ku kira. Hippocampus di otakku yang merupakan cuilan dari system limbic yang berbentuk mirip potongan kronal mirip kuda laut, setiap detiknya terus bekerja membalik lembaran memori rekaman perihal dirinya. Sayang ini terus membara mirip si andal merah yang melalap gedung hingga menjadi debu. Apakah salah diriku ini yang memang insan yang lemah mengasihi bidadari itu yang sempurna? Aku hanya ingin menjalin hubungan hangat dengannya bukan hanya seorang sobat yang menemani disaat suka maupun sedih tetapi saya berharap lebih.
Awan alto cumulus menutup langit dan terasa gelap mirip di alam lain. Tetapi aku harus berperang melawan rasa takut ini. Harus melawan keraguan dalam mengambil resiko. Akhirnya saya menyampaikan sejujurnya perihal perasaanku.
“Tik, kaulah satu-satunya pengisi jiwaku. Setiap detik ku terbayang senyumanmu yang ramah,dan keharuman yang kau tebarkan. Aku sangat mencintaimu” kataku hasilnya meluapkan perasaanku yang rasanya telah seabad ku pendam.
“Aku akan serius dan setia kepadamu meskipun petir membelah cinta kita dan angin puting-beliung menyeret memaksa kita berpisah. Aku akan tetap setia menyayangimu dengan nrimo dan lembut tak sedikitpun saya biarkan kau tersakiti” sambungku.
Aku terpelotot ke wajahnya, tak ada amarah sedikitpun yang ada hanya cairan bening yang berkilau serasa berlian alasannya ialah tersorot sinar lampu mengalir di pipinya. Etik meluapkan rasa sedihnya dan hati kecilku terhenti penasaran, gres ketika ini saya melihatnya sedih hingga mengeluarkan kristal-kristal bening yang berharga dari kelopak matanya.
“Kenapa kau Tik, apakah saya menyakiti dirimu?”
Etik menggeleng, dengan air mata yang berlinang dan cairan bening keluar dari hidungnya ia coba menjelaskan balasan atas petanyaan yang dilontarkanku. Aku siap dengan setiap kata yang diuntaikannya meskipun ia berkata “tidak”. Dan benar, kata tidak terlontar dari bibirnya yang tipis. Serasa saya tersambar petir mendengarnya. Kalbu ini tersayat, sakit rasanya dan dada ini serasa jebol. Gerimis menambah suasana ini menjadi tak karuan mirip ditelan angin puting-beliung terseret ke dalam lorong dimensi lain. Sepinya malam itu terasa sangat sepi seolah hanya saya dan ia yang ada di alam ini. Tak ada bunyi binatang ataupun insan lain meramaikan jagad ini.
“Maafin aku, saya ga bisa”, tangannya yang lembut mirip sutra memegang jariku. Akupun terpaku.
“Kamu niscaya kecewa dan hatimu sangat tersayat mendengar keputusan ini. Tapi bukan berarti dihatiku ngga ada benih-benih cinta bersemi. Aku takut semua perasaan ini hanya bayangan, ilusi, dan imaginasi belaka”.
“Jika cintaku ini beban maka hilangkan dan lupakan diriku. Jika cinta ini kesalahan maafkanlah diriku dan kalau cinta ini ialah hutang biarkanlah saya melunasinya. Tetapi kalau cinta ini suatu anugrah dari Yang Maha Kuasa biarkan saya menjaganya dan mencintaimu sampai hembusan nafas terakhirku” saya menolak dan tidak percaya atas jawabannya.
Aku memeluknya dan membelai rambutnya yang tergerai panjang, lembut bagai bulu.
“Aku ngga mau kehilangan sobat sebaik kamu. Biarlah ikatan kita bebas tanpa terbatasi dimensi ruang dan waktu. Lagipula perjalanan cinta tak selamanya kekal abadi, sanggup saja nanti terputus di tengah jalan. Lebih baik kita erat alasannya ialah sobat bagaikan air minum yang selalu membasahi kerongkongan di kala kita haus. Sedangkan pacar hanya sebagai emas atau berlian atau sejenisnya yang hanya diharapkan waktu tertentu saja dan suatu ketika dijual. Aku tidak mau kalau persahabatan kita hancur berkeping-keping menjadi debu alasannya ialah cinta kita yang terputus di tengah jalan nantinya. Persahabatan sanggup menumbuhkan bibit-bibit cinta. Tetapi percintaan terkadang mengakibatkan permusuhan kalau tak sanggup disambung lagi. Dan saya tidak mau itu terjadi pada kita.” terangnya bijaksana.
Aku hanya terpaku mendengar untaian yang mengalun dari bibirnya. Ku renungi setiap maknanya. Ku lepaskan pelukan hangatku dan menatap tajam raut mukanya. Ku lihat ia kembali tersenyum mirip surya terbangun dari tidur lelapnya. Aku sanggup mencicipi begitu sejuknya perasaan ini kerena semua beban di dalam kalbu telah ku lempar jauh-jauh ke samudra karam bersama ombak yang menyapunya.
“Aku rela menjadi bulan yang redup sinarnya tetapi kekal memancarkan sinar untuk menerangi hatimu baik ketika dirimu senang ataupun sedang kelam mirip malam”, kataku sambil menyeka cairan bening di pipinya.
“Iya benar, alasannya ialah hati hanya mencinta sekejap. Api sanggup membara dan padam. Air sanggup menyejukan dan menenggelamkan. Lampu sanggup menerangi dan putus. Tetapi mempunyai sobat sepertimu ialah suatu pujian kan terus kekal tak pernah terhapus dan tergoda waktu”, pintanya kepadaku.
Aku tersenyum dan merasa lebih remaja dengan semua ini. Tak ada sedikitpun rasa menyesal di dalam lubuk hatiku alasannya ialah saya meluapkan isi hatiku yang berakhir penolakan. Seperti yang dikatakan Eric Segal dalam bukunya, “Cinta berarti kau takkan sekali saja melafalkan kata sesal”. Memang cinta tak harus memiliki, kadang kala kita harus melepaskan cinta tersebut. Karena cinta sejati selalu ingin membahagiakan orang yang dicintai dan yang terpenting orang yang kita cintai dan sayangi tidak pernah tersakiti.
Komentar
Posting Komentar