Sebening Air Mata Bunda Cerpen Mengharukan
Sebening Air Mata Bunda, sebuah cerpen karya Irwanto al-Krienchiechie yang di bukukan dengan cerpen lain dalm buku yang berjudul ”Gerimis di Atas Sajadah” . Cerpen ini merupakan cerpen yang sangat mengharukan.
Sebening Air Mata Bunda
“Ya Allah. . . , saya rindu anak-anakku,” doa Ibu Ainil Qalbi di suatu senja
“Pak, kapan Izzaul Haq dan Nurul Izzah pulang ke rumah, Renah Pusako ini?”
“Ah, Ibu, mereka gres beberapa kuliah di kota Sungai Penuh, kok Ibu sudah rindu mereka,” jawab Pak Ikhlasul Amal, suami Ibu Ainil Qalbi.
* * * * * * Dalam remang malam, Pak Ikhlasul Amal dan Ibu Ainil Qalbi hanya memakai lampu togok minyak tanah, yang dibiarkan hidup sepanjang malam. Maka, tak heran, esok paginya, lubang hidung menghitam ibarat Jojon, actor lawak Indonesia.
“Pak, Bapak besok ke pasar?” tanya Bu Ainil
“Memangnya kenapa?” tanya balik suaminya.
“Kalau iya, saya minta Bapak mengeposkan surat untuk Izzaul Haq dan Nurul Izzah.”
“Iya, Insya Allah. Mana suratnya?” tanya suaminya.
“Belum, Pak. Ini lagi mau dibuat,” jawab Ibu Ainil.
Jika suaminya masih hidup, Bu Ainil niscaya meminta suaminya mengeposkan surat untuk bawah umur mereka. Namun, sekarang, ia kadang kala menunggu pak pos lewat. Ketika rindu tak tertahankan, ia minta tunjangan Arman, anak tetangganya, untuk mengeposkan surat. Kebetulan sekolah Arman, Sekolah Menengan Atas Kyub Aro, jaraknya tidak jauh dengan kantor pos.
Ibu Ainil Qalbi menuju meja berguru anaknya di sebelah kamarnya. Kerinduan pada dua anaknya sangat mendalam, sehingga sisa kekeuatan jiwa rentanya, ia menulis surat. Esok pagi, ia akan menitipkannya pada Arman.
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji milik Allah Swt. Yang telah memperlihatkan kesehatan dan kekuatan, sehingga ibumu masih sanggup menggoreskan pena demi Ananda yang telah mengarungi samudra ilmu di medan usaha bumi Kerinci.
Anak-anakku, semenjak keberangkatan kalian ke bumi Kerinci beberapa bulan yang lalu, rumah terasa sangat sepi. Berbagai perasaan menyelimuti hati Ibu. Ibu sangat besar hati mempunyai bawah umur ibarat kalian yang mempunyai jiwa semangat tinggi meskipun dengan dana yang minim untuk terus melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Anakku, kala matahari memecah dinginnya pagi dan kokok ayam yang merobek kebekuan ala mini, kadang hati Ibu mengkhawatirkan diri kalian yang masih muda belia. Ibu takut kalian terpengaruh budaya yang tidak baik. Ibu selalu berdo’a semoga kalian selalu diberi proteksi oleh Allah dari segala kemaksiatan dan keburukan. Ibu selalu berharap semoga kalian selalu menegakan syari’at agama di bumi Sakti Kerinci.
Anak-anaku, di usia lanjut ibu ini, sungguh, ibu berharap kalian selalu mengingat dan mengabdi kepada Allah Swt. Ibu sangat berharap kalian sanggup menjadi cahaya mata (Qurrata A’yun) bagi, orang renta kalian. Dengan demikian ibu menyerahkan harta, pikiran, jiwa, dan raga untuk Allah, bahkan diri kalian berdua, sebagaimana doa yang selalu ibu panjatkan, “Ya Tuhan kamii, anugrahkan kepada kami, suami kami, dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Namun, ada kegembiraan menyelimuti hati ibu sehabis membaca surat kalian. Ibu sanggup menahan tetes air mata. Tiba-tiba di depan mataku kalian berdua ibarat Umar bin Khattab, Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Siti Khadijah, Siti Aisyah, Subhanallah. . . Ibu sangat terharu membaca suratmu. Kalian berdua telah menemukan jati diri sebagai hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya.
Anak-anaku, semua kisah kalian perihal situasi bumi sakti Kerinci telah ibu dengar. Namun, kalian duka melihat perkembangan faktual bumi hero itu mulai penuh dengan pergaulan bebas yang mengakibatkan banyak sekali kemaksiatan.
Anak-anakku, kalian telah menemukan jalan usaha di medan dakwah dengan menyusun melalui kegiatan dakwah di forum-forum keagamaan di daerah studi kalian. Kalian tela membuktikan nilai-nilai islam yang tercermin dalam hidup dan diri kalian. Bahkan, kalian telah berjanji bahwa kalian tidak akan pacaran sebelum menikah.
Anak-anakku, kalian harus waspada segala bentuk imbas jelek yang merusak iktikad Islam. Ingatlah semua pesan ibu. Kalian harus laksanakan semua yang ibu sampaikan. Musuh Islam yaitu gaya-gaya kafiri, maka kalian harus meneguhkan pendirian dan melangkah dengan niscaya di jalan Allah sehingga kalian Insya Allah selalu di bawah lindungan-Nya.
Anak-anakku, letakkanlah nurani kalian dan indera pendengaran kalian di hati umat yang sedang bergejolak di zaman modern ini. Deteksilah penyakit yang diderita umat. Lalu, melangkahlah di jalan Allah dan taburkan kesegaran untuk mengobati penyakit umat.
Taburkanlah adat bunga diri, indah dilihat mata, bahagia dirasa hati, dan menciptakan setiap orang jatuh hati. Ingatlah, akhlaklah yang akan menaikkan dan menjatuhkan seseorang di masyarakat dan di mata Allah.
Anak-anakku, tinggalkan peraduan kalian, sahutlah usul Allah. . .Ibu brdoa semoga kalian selalu dalam lindunga Allah Swt.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Tanah Sakti, 6 Rajab 1421 H
Bunda kalian
Ainil Qalbi
Usai menulis surat itu untuk anak-anaknya, Ibu Ainil Qalbi tidur. Kerinduannya kepada mereka dibawa dalam mimpi yang indah.
“Assalamu’alaikum,” Arman mengucap salam di pintu Ibu Ainil Qalbi.
Diam, tidak ada tanggapan dari dalam rumah.
“Bu, saya mau sekolah. Ibu jadi minta saya mengeposkan surat?” ucap arman di depan pintu. Tapi tidak ada suara.
Tok. . tok. . tok…, Arman mengetuk pintu kembali. Lalu, ia memberanikan diri membuka pintunya. Ternyata, pintu tidak dikunci, Arman masuk.
“Bu, Ibu dimana?” ucap Arman. Tapi, tetap tak ada jawaban. Lalu, Arman menuju kamar Ibu Ainil Qalbi.
“Bu, Ibu sakit?” Tanya Arman di samping Ibu Ainil Qalbi.
Diam tanpa suara. Arman pun melepas tas yang disandangnya. Lalu, ia berlari memanggil bapak dan ibunya.
“Pak, Bu, tolong!” teriak Arman.
“Ada apa, Man? Apa yang terjadi padamu, Nak?” Tanya bapaknya.
“Itu, Ibunya Kak Nurul tidak bangun-bangun.”
“Di mana, Man?” Tanya ibu Arman.
“Di rumahnya, Bu, Pak,”
Mereka bergegas ke rumah Ibu Ainil Qalbi.
“Inna lillahi wainna tuhan raji’un. . . . . . .”
“Kenapa, Pak?” Tanya ibu Arman.
“Ibu Ainil Qalbi talah dipanggil Allah Swt. .,” jawab bapak Arman.
Semua warga hadir do rumah Ibu Ainil Qalbi. Tapi, gres tiga jam kemudian, Izzaul Haq dan Nurul Izzah tiba sehabis dijemput bapak Arman. Mereka tidak bisa menahan air mata kesedihan.
Usai pemakaman, Izzaul Haq dan Nurul Izzah membaca surat ibundanya yang belum sempat dikirim. Tangisan kembali pecah di rumahnya.
“Ibu, maafkan kami yang tidak mendampingimu menemui Allah,” ucap Izzaul Haq lirih.
“Ibu, maafkan Nurul yang banyak berbuat salah kepada ibu. . . .”
Semua yang hadir menangis mendengar ratap du anak shalihah itu.
Allah berkuasa atas segala sesuatu. Inna lillahi wainna tuhan raji’un…….
Komentar
Posting Komentar